Aksi Buruh Tuntut Keadilan

Aksi Buruh Tuntut Keadilan

Read Time:5 Minute, 45 Second

Saat bersuara terhalang ancaman PHK, May Day menjadi momentum buruh untuk menuntut keadilannya. Jalanan penuh dengan orasi dan spanduk berisi tuntutan kesejahteraan. Sebuah perjuangan hak-hak pekerja yang dirayakan di berbagai belahan dunia.


Setiap 1 mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan istilah May Day. Tanggal ini tak sekadar hari peringatan biasa, tetapi menjadi momentum buruh untuk menuntut hak dan keadilan. Pada Kamis (1/5), serikat buruh dan masyarakat sipil memadati depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta Pusat untuk bersama-sama menuntut hak dan keadilannya. 

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menginisiasi aksi Hari Buruh 2025 dengan tema “Kapitalisasi, Oligarki, dan Militerisme adalah Musuh Kelas Pekerja”. Dalam aksi itu, para buruh menuntut pencabutan Undang-Undang (UU) TNI, gagalkan revisi UU Polri, kembalikan militer ke barak, bubarkan komando teritorial, hapus semua produk hukum anti demokrasi serta anti rakyat, hapus semua produk hukum yang melegitimasi keterlibatan militer dan polisi dalam persoalan sipil. 

Para buruh juga mendesak pemotongan anggaran terhadap lembaga yang dinilai menindas rakyat, antara lain; Kementerian Pertahanan, TNI, Kepolisian, Kejaksaan Agung, BIN serta hentikan pembangunan komando teritorial baru untuk pendidikan dan kesehatan gratis, makan bergizi gratis, subsidi rakyat serta kesejahteraan buruh dan rakyat. Selain itu, lawan intimidasi, kriminalisasi dan pembunuhan aktivis rakyat, tolak militer kampus, pabrik dan desa.

Dalam orasinya, Sunarno sebagai Ketua Umum Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) mengkritik keras dampak krisis kapitalisme global yang menghantam buruh Indonesia. Ia menyebutkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal enam bulan terakhir di sektor industri menunjukkan bahwa pemerintah gagal melindungi dan memenuhi hak buruh. “Krisis ini terus berulang karena negara kapitalis hanya ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sementara buruh jadi korban efisiensi dan overproduksi,” tegasnya, Kamis (1/5).

Tak hanya soal PHK, Sunarno mengecam Omnibus Law Cipta Kerja dan PP 35/2021 yang dinilai merugikan buruh. Ia menuntut pemerintah segera membuat undang-undang baru yang lebih berpihak pada pekerja. Selain itu, ia juga mengingatkan kembali akan nasib pekerja rentan, mulai dari pekerja rumah tangga, kurir, ojek online, buruh perkebunan, tenaga medis, guru honorer, hingga nelayan yang semakin termarjinalkan.

“Situasi itu menunjukan bahwa pemerintah gagal untuk menghadapi krisis ekonomi global. Krisis ini juga akan selalu berulang setiap saat karena negara kapitalis atau industrialis hanya ingin mengeruk keuntungan dan mengeruk nilai dari pekerja,” tuturnya.

Sunarno juga mengkritik upaya pembatasan kebebasan berekspresi lewat revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU TNI, dan UU Kepolisian. Di tengah orasi, ia tak lupa menyampaikan apresiasi kepada kaum tani, mahasiswa, dan aliansi perempuan yang ikut turun ke jalan dalam aksi solidaritas ini.

Tak hanya di Jakarta, Sunarno menjelaskan jaringan GEBRAK juga menggelar aksi serentak di berbagai daerah dari seluruh pulau di Indonesia. Namun, terjadi polarisasi pada aksi Hari Buruh 2025 di Jakarta. Kata Sunarno, sebagian serikat buruh memilih berkumpul di Monumen Nasional dalam rangka May Day Fiesta 2025 bersama Prabowo Subianto. 

Mulanya, Gebrak bersama serikat buruh lainnya ingin melangsungkan aksi buruh di Bundaran HI dan Istana Negara. Namun, larangan demi larangan membuat mereka akhirnya memutuskan untuk melaksanakan aksi buruh di depan Gedung DPR RI. 

Sementara itu, beberapa basis anggota serikat dari luar Jakarta juga telah menyewa bus untuk menuju Jakarta. Akan tetapi, perusahaan otobus (PO) bus yang mereka sewa mengalami intimidasi yang melarang pengelola untuk tidak membawa peserta aksi ke Jakarta. 

Ketua organisasi Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan bahwa aksi di Gedung DPR untuk memperlihatkan posisi politik oposisi terhadap pemerintah Indonesia. Maka, peringatan May Day dimaknai sebagai hari perlawanan buruh bukan perayaan. “Kita memilih untuk aksi di DPR, tidak di Monas. Karena kita tahu bersama bahwa saat ini sedang ada juga peringatan May Day sebagian serikat buruh bersama dengan Prabowo,” ucap Ika pada Kamis (1/5).

Ia juga menjelaskan bahwa aksi ini, sebagai bentuk upaya untuk memunculkan posisi kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sebenarnya tidak pro buruh dan pro rakyat, sehingga tema utama aksi ini adalah menolak solusi palsu pemerintah. “Misalnya ketika menghadapi gelombang PHK, pemerintah tidak punya solusi atas kebutuhan untuk jaminan pekerjaan dan jaminan pendapatan. Yang seharusnya menjadi hak dasar bagi buruh. Pemerintah hanya memunculkan program satgas PHK atau tunjangan untuk buruh yang di PHK. Tapi kemudian tidak ada solusinya terkait dengan situasi minimnya lapangan pekerjaan,” lanjutnya.

Dalam situasi kemiskinan struktural, ia mengatakan di rezim Prabowo perempuan berada di tingkat paling bawah. Mayoritas perempuan bekerja sebagai buruh migran dan pekerja rumah tangga yang hingga hari ini belum mendapat pengakuan dari pemerintah. “Yang RUU nya selama 21 tahun juga tidak pernah diprioritaskan untuk segera dibahas. Jadi kami melihat bahwa perempuan itu juga adalah buruh. Dan justru semakin tidak diperhatikan kesejahteraanya, semakin rentan untuk mendapatkan kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi ketika bekerja,” ujar Ika.

Ika menyatakan solidaritas antar buruh saat aksi ini luar biasa, karena buruh yang hadir dari berbagai macam sektor seperti buruh pabrik, buruh di industri kreatif, pekerja seks, pekerja rumah tangga, pekerja queer, ada juga pekerja transpuan. “Mereka tergabung dalam aksi ini untuk menyuarakan kebutuhan solusi nyata terkait dengan problem jaminan sosial bagi buruh, jaminan pekerjaan, bebas dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Jadi datang dari semua kalangan, karena kita tahu yang dinamakan buruh itu tidak tunggal,” tambahnya.

Eryanto, seorang buruh pabrik yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menuntut agar menghapus UU cipta kerja dan menghilangkan outsourcing. Menurutnya, harus ada undang-undang baru terkait ketenagakerjaan.

“Hapus Omnibus Law, yang di dalamnya ada upah murah, outsourcing, dan lain sebagainya. Jika omnibus law dihapus pemerintah harus menggantinya dengan undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan menghadirkan serikat buruh sebagai wakil dalam membahas undang-undang yang baru,” kata Eryanto, Kamis (1/5). 

Ia juga menuntut agar Peraturan Pemerintah (PP) nomor dua puluh satu terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) agar segera dihapuskan. Menurutnya Tapera sangat memberatkan para buruh yang berpenghasilan rendah. “PP nomor dua puluh satu, sangat memberatkan para buruh, karena disaat ekonomi sedang tidak stabil, ditambah kenaikan pajak yang membuat hati rakyat semakin sakit,” tutur Eryanto, Kamis (1/5).

Solidaritas yang kuat antar buruh dirasakan langsung oleh Eryanto selaku massa aksi hari buruh kamis kemarin. Ia mengagumi semangat dari massa aksi, meskipun matahari bersinar terik, tapi semangat dan rasa berjuang demi menciptakan kesejahteraan bersama, tidak hilang. “Semangat dari kawan-kawan tetap sama, kita sama sama berjuang demi keadilan dan kesejahteraan bersama,” ucap Eryanto. 

Agus Sulistyo aktivis buruh dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) turut merasakan solidaritas antar aksi massa yang hadir dari berbagai elemen masyarakat. Menurutnya, solidaritas yang terbangun sudah cukup bagus. “Karena di sini kan bukan hanya buruh ataupun masyarakat-masyarakat yang lain, di sini ada mahasiswa juga, ada para pekerja, dan juga masyarakat-masyarakat adat hadir untuk hari ini,” tutur Agus, Kamis (1/5).

Agus mengungkapkan harapannya agar solidaritas peserta tidak terpecah oleh agenda pemerintah yang berlangsung di Monas. Ia menyampaikan bahwa dirinya lebih menginginkan seluruh rangkaian aksi tetap berpusat di kawasan Patung Kuda. “Karena orasi-orasi politik kita akan lebih bagus dan lebih didengar oleh RI 1,” kata Agus.

Reporter: Rizka Id’ha Nuraini, ARD, IH, RAF
Editor: Muhammad Arifin Ilham

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Implikasi Demokrasi dalam Belenggu Dogma terhadap Batasan dalam Berpikir dan Berpendapat Previous post Implikasi Demokrasi dalam Belenggu Dogma terhadap Batasan dalam Berpikir dan Berpendapat
Gejolak Mahasiswa Gugat Pembenahan Next post Gejolak Mahasiswa Gugat Pembenahan