Ulil Abshar: Rayakan Valentine dengan Bertanggung jawab

Read Time:1 Minute, 56 Second

Hari raya digolongkan ke dalam dua jenis. Pertama bersifat religius atau keagamaan, di mana hari raya tersebut terkait ritual sebuah agama, seperti Imlek, Lebaran, dan Natal. Kedua, hari raya non keagamaan yang mementingkan duniawi semata, seperti hari Kemerdekaan, Pahlawan, Ibu dan lain-lain.

Dalam merayakan hari raya pun terdapat dua dimensi, dimensi sosial dan dimensi keagaaman. Dimensi keagaaman seperti beribadah ke Gereja, sholat Idul Fitri, dan lainnya. Dimensi sosialnya, makan ketupat, silahturahmi dan memberikan hadiah. “Jika orang islam merayakan natal dalam dimensi sosialnya, tentu tidak menjadi masalah,” ujar Ulil Abshar tokoh Jaringan Islam Liberal, Senin (4/2).


Ulil mengkategorikan hari valentine termasuk ke dalam hari raya non keagamaan. Menurutnya, hari valentine murni hari raya sosial, yang dirayakan oleh pemuda untuk bertemu dengan kekasihnya. Selain itu, valentine juga digunakan sebagai media berkumpul dan mengucapkan selamat.


Seseorang yang merayakan hari valentine tidak menjadi persoalan. Bagi Ulil, permasalahan boleh atau tidaknya merayakan valentine dalam agama menurutnya tidak relevan. “Yang tidak boleh adalah melakukan hal yang berlawanan dengan etika sosial dan aturan keagamaan di dalam perayaan valentine,” tegasnya.


Melakukan hal yang bertentangan dalam aturan keagamaan tidak hanya dilakukan pada hari valentine. Setiap hari pun masing-masing individu bisa melakukannya. “Jadi, ini bukan soal hari valentine tapi tindakan individu itu sendiri,” jelasnya.


Merayakan valentine tidak melulu harus dengan bunga dan coklat. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan seperti berdiskusi mengenai percintaan, atau dengan cara yang lebih intelektual. Merayakan valentine dengan cara bersenang-senang juga tidak salah, “Hura-hura kan tidak dilarang agama. Namun, hura- hura masih dalam batas yang etis,” paparnya.


Batasan aturan keagamaan untuk merayakan valentine diserahkan kepada masing-masing individu. “Setiap orang mempunyai pandangan sendiri terhadap batas-batas etika keagamaan. Namun jika dieksplisitkan akan menimbulkan kemalasan moral, seperti orang yang ingin tahu hasil tetapi tidak ingin proses,” jelasnya.


Menurut Ulil, dengan menggunakan akal sehat dan nurani individu dapat menentukan sendiri batasan dalam merayakan valentine. Karena masing -masing individu nantinya diminta pertanggungjawaban dengan Tuhan sebagai pribadi bukan kelompok.


Di sinilah agama menuntut setiap individu mempunyai rasa tanggung jawab dan hal tersebut keluar dari diri individu sendiri. “Individu itu diberikan akal dan nurani tetapi kenapa menanyakan kepada orang lain mengenai batasannya,” ujarnya sambil tersenyum,

Bagi Ulil, pondasi agama adalah subjektifitas dan bukan objektifitas. Agama bersifat hubungan personal dengan Tuhan. “Hukum mengenai batas keagamaan yang diseragamkan di sini menurut saya yang berbahaya,” katanya. (Adi Nugroho)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Habieb Rizieq: Valentine Mengikis Aqidah dan Jiwa Kebangsaan
Next post Soal Gerakan, Mahasiswa Kalah Progresif