Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia terbilang lambat dibanding Malaysia. Di Malaysia, bank Islam telah muncul sejak 1983 dan kajian ekonomi Islam sudah dianggap sebagai disiplin ilmu sejak 1984. Sebaliknya, di Indonesia, bank Islam baru muncul pada 1991 dan ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu baru berkembang pada 2000.
Hal itulah yang disampaikan Ketua Jurusan (Kajur) Program Pascasarjana (S2) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung, Yadi Janwari. Ia menjelaskan, sebenarnya gagasan tentang ekonomi Islam di Indonesia telah muncul sejak awal abad ke-20 ketika Haji Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI).
“Namun, upaya untuk mengimplementasikan ekonomi Islam hampir kandas di tahun 1950-an,” ujarnya, Kamis (14/11). Umat Islam pada masa itu lebih diarahkan pada persoalan politik, sehingga aspek ekonomi terabaikan. Penyebab lain lambatnya perkembangan ekonomi Islam adalah karena orang Indonesia lebih senang dengan sesuatu yang diperdebatkan, seperti salat subuh pakai qunut atau tidak.
Dalam Stadium General yang berjudul Konsep dan Implementasi Ekonomi Islam Dalam Perekonomian Indonesia ia juga mengatakan, aspek ekonomi Islam yang paling banyak diperdebatkan adalah masalah bunga bank termasuk riba atau tidak. Pada 1968, Majelis Tarjih Muhammadiyah melakukan kajian tentang riba. Hasil kajiannya memutuskan, bunga bank termasuk syubhat atau belum jelas halal dan haramnya
.
“Perdebatan bunga bank termasuk riba atau tidak baru selesai pada 1990-an yang hasilnya bahwa bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram,” jelasnya. Namun, nyatanya keputusan itu tidak berimplikasi sosial terhadap kehidupan masyarakat. Mayoritas umat Islam tetap saja berhubungan dengan dunia perbankan konvensional.
Yadi menambahkan, implementasi ekonomi Islam di Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, yaitu kondisi politik, sosiologis, dan ekonomi masyarakat. Kondisi politik Indonesia belum cukup kondusif bagi realisasi ekonomi Islam.
Para politisi yang berada di eksekutif dan legistlatif belum memiliki concern terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Islam. “Padahal, kebijakan dan regulasi sangat membutuhkan kedua institusi tersebut,” jelas Ketua Ikatan Ekonomi Islam Tingkat ASEAN ini di Teater Prof. Mahmud Yunus, FITK.
Secara sosiologis, tambahnya, masyarakat Indonesia juga belum siap untuk mengimplementasikan ekonomi Islam. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang ekonomi Islam masih rendah. Kemampuan masyarakat untuk berinvestasi pun masih lemah, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah.
Oleh karena itu, menurut Yadi, dibutuhkan langkah-langkah khusus dalam upaya merealisasikan ekonomi Islam. Hal itu bisa dimulai dengan membuka program studi ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi, menerbitkan jurnal ilmiah ekonomi Islam, mendirikan berbagai pusat studi, forum ilmiah, dan pelatihan ekonomi Islam. (Anastasia)
Average Rating