Media Online Islam Melupakan Keberagaman

Read Time:7 Minute, 12 Second

Pada  September  2011, sebuah  media  online  memberitakan  tentang  Kristenisasi  dengan  modus  penghamilan. Berita  tersebut  terjadi  di  Bantul, Yogyakarta. Alkisah, Mawar (bukan  nama  sebenarnya), perempuan  beragama  Islam, hamil  di  luar  nikah. Pria  yang  harus  bertanggung  jawab  adalah  Alex (bukan  nama  sebenarnya), laki – laki  beragama  Katolik. Awal  bulan  September  2011, Alex  datang  ditemani  tokoh  Nasrani  setempat  untuk  menikah  dengan  Mawar  di  gereja. Bapak  dan  Ibu  Amir (bukan  nama  sebenarnya) sebagai  orang  tua  Mawar,  sangat  terpukul  dengan  berita  tersebut. Mereka  pun  menyetujui  pernikahan  Alex  dan  Mawar  di  gereja. 

Berita  tersebut  juga  mengisahkan  bahwa  sejumlah  tokoh  agama, tokoh  masyarakat  setempat, dan  beberapa  Ormas  akhirnya  melakukan  ruqiyah (penyadaran) terhadap  Mawar  dan  orang  tuanya  agar  mencabut  surat  pernikahan  Mawar  di  gereja. Setelah  surat  pernikahan  di-  cabut, berbagai  teror  dari  pemuda  gereja  menghampiri  Mawar  dan  kedua  orang  tuanya. Dalam  berita  itu  pun  ditulis, pemuda  gereja  menghembuskan  berita  bohong  bahwa  Ormas  Islam  menyerang  gereja  ketika  melakukan  pencabutan  surat  pembatalan  pernikahan. Akhirnya, terbukti  bahwa Alex  dan  sejumlah  pemuda  gereja  ternyata  menipu  orang  tua  Mawar  dengan  mengatakan  bahwa  Mawar  hamil  3  bulan, hanya  karena  mereka  ingin  memurtadkan  Mawar.

Cuplikan  berita  tersebut  tercantum  pada  berita  bertajuk  Waspadai  Kristenisasi  via  Pacaran dan  Hamilisasi (Belajar  dari  Kasus  Bantul)  di  media  online  voa-islam.com  pada  20  September  2011. Menanggapi  berita  tersebut, pengamat  media, Ade  Armando  mengatakan, berita  tersebut  terasa  ganjal  karena  semua  narasumber  tidak  disebutkan  identitasnya, bahkan  inisialnya. “ Tidak  ada  yang  perlu  dianonimkan  dari  berita-berita  seperti  itu, kecuali  bila  data  yang  ditampilkan  menimbulkan  pencemaran  nama  baik  atau  mengancam  nyawa  si  pelaku. Hal  ini  membuat  banyak  orang  beranggapan  bahwa  berita  ini  hanyalah  fiktif, ” ucap  dosen  Ilmu  Komunikasi  di  Universitas  Indonesia (UI) ini, Jumat (6/6).  

Armando  melanjutkan, sejak  tahun  2009  hingga  sekarang, media  online  Islam  berkembang  pesat  di  internet  dibandingkan  media  online  agama  lain. Berdasarkan  hasil  pengamatannya, sejumlah  media  Islam  online  seperti  voa-islam.com, arrahmah.com, suara-islam.com, dan  eramuslim.com, membangun  kontruksi  berita  bahwa  dunia  Islam  kini  berada  di  bawah  ancaman  agama  lain  yang  disebut  kalangan  anti  Islam  yang  berencana  menghancurkan  umat  Islam.  

Lanjutnya, tak  hanya  agama  lain  yang  diberitakan  demikian. Ahmadiyah  pun  tak  luput  dari  berita  yang  mengindikasikan  Islam  di  bawah  ancaman. Media  menggambarkan  Ahmadiyah  sebagai  bagian  dari  strategi  kaum  kafir  liberal   yang  mengompori  Ormas  Islam  agar  semakin  bersikap  emosional  sehingga  melakukan  berbagai  tindakan  anarkis. Tindakan  anarkis  tersebut  secara  tak  langsung semakin  menyudutkan  umat  Islam.

Senafas  dengan  Armando, aktivis  di  Serikat  Jurnalis  Keberagaman (Sejuk), Tantowi  Anwari  mengatakan, sebagian  besar  media  online  Islam  seringkali  mengabaikan  persyaratan  etik  dan  profesionalitas  jurnalistik. Pasalnya, tidak  ada  verifikasi, keseimbangan, objektifias, dan  keadilan  dalam  penulisan  berita. “Bahkan, terkadang  berita  tersebut  terkesan  fiktif. Kalaupun  tidak  fiktif, kita  tidak  bisa  membedakan  antara  opini  dan  fakta,” paparnya, Jumat (6/6).

Tantowi  menambahkan, selain  menyajikan  berita  fiktif, media  tersebut  seringkali  tidak  tepat  dalam  memilih  diksi. Misalkan, mereka  memberitakan  tentang  peristiwa  Ahmadiyah  di  Cikeusik  dengan  menggunakan  kata  ‘bentrokan’, bukan  ‘penyerangan’. Pada  berita  Ahmadiyah  yang  lainnya, tidak  sedikit  diksi  ‘sesat’  dan  ‘menyimpang’  yang  digunakan  oleh  media  online  tersebut. “Bagi  saya, diksi  yang  seperti  itu  bisa  memberi  stigma  negatif  ke  objek  pemberitaan. Selain  itu, semakin  jelas  terlihat  bahwa  kepada  siapa  pers  memihak, bukan  menjadi  pers  yang  netral,” jelas  Tantowi  di  Hotel  Lotus  Bandung.

Senada  dengan  Armando  dan  Tantowi, anggota  Human  Rights  Working  Group (HRWG), Chairul  Anam  menambahkan, tak  jarang  beberapa  media  online  Islam  bersikap  inkonsisten  terhadap  isu keberagaman. Mereka  gencar  memberitakan  peristiwanya, namun perlahan  redup  ketika  peristiwa  memasuki  ranah  hukum. “Paling  banter  hanya  memberitakan  sidang, tuntutan, atau  vonis,” ucap  jurnalis  di  harian  Bandung  ini, Jumat (6/6).

Sikap  Jurnalis  Memberitakan  Keberagaman

Menurut  Anam, penyebab  konteks  media  yang  bias  keberagaman  tidak  jauh  dari  naluri  wartawan  yang  meliput  dan  menulis  berita  tersebut. Wartawan  tetap tidak  bisa  melepaskan  diri  begitu  saja  dari  konteks  agama  maupun  etnis.  Hal  itu  didukung  dengan  hasil  survei  Yayasan  Pantau  pada  September  2011  terhadap  600  jurnalis di  16  provinsi, sebanyak  64,30%  jurnalis  setuju  dengan  pelarangan  Ahmadiyah, 63,1%  mendukung  UU  Antipornografi, dan  63,5%  setuju  dengan  fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia (MUI).

Bagi  Anam, solusi  yang  tepat  agar  pemberitaan  tentang  keberagaman  agama  tidak  bias, jurnalis  harus  memahami  tentang  pentingnya  Hak  Asasi  Manusia (HAM). “Prinsip  utama  dalam  HAM  adalah  non-diskriminasi  terhadap  agama,  etnis, dan  ras  di  Indonesia. Untuk  seorang  jurnalis  ketika  meliput  berita, seharusnya  tidak  ada  narasumber  yang  dibedakan, dikecualikan, dibatasi, atau  diutamakan,” ucapnya.

Namun, bagi  Ade  Armando, jurnalis  sebaiknya  memihak  kepada  korban  atau  pihak  yang  tertindas. “Tentu  saja  keberpihakan  itu  mensyaratkan  pengetahuan  yang  mendalam  kepada  jurnalis,  sebelum  meliput  berita  tentang  keberagaman  agar  tidak  menciptakan  stigma  negatif  terhadap  salah  satu  pihak  yang  berseteru,” ucap  mantan  jurnalis  Republika  itu, Jumat (6/6).

Selain  itu, Armando  melanjutkan, ketika  meliput  konflik  yang  melibatkan  keberagaman, jurnalis  harus  berempati  kepada  korban  dan  kaum  minoritas  agar  menghasilkan  berita  bernilai  humanisme  yang  berkualitas. “Berita  tersebut  bisa  menjadi  pesan  untuk  membangkitkan  empati  pada  para  penyebab  konflik  dan  masyarakat  agar  segera  menemukan  penyelesaian  konflik  tersebut,” tandas  Armando.


(Gita  Juniarti)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post ‘One Health’ Atasi Masalah Kesehatan
Next post Waspadai Anak dari Rokok dan Pelaku Pedofilia