Film dalam Negeri Kurang Perhatian

Read Time:2 Minute, 3 Second
Sedikitnya pemerintah yang mengerti tentang pentingnya film untuk menjaga kebudayaan, mengakibatkan kurangnya perhatian dalam perkembangan perfilman di Indonesia. Padahal,  untuk meningkatkan kualitas perfilman di Indonesia harus terjalin hubungan antara  pemerintah dan seniman film. Hal itu diungkapkan sutradara film Soegija, Garin Nugroho dalam acara diskusi Film, Budaya, dan Kebangsaan  di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (4/7).

Garin Nugroho kecewa akan kurangnya ruang untuk seniman film di Indonesia. Menurutnya, sistem pemerintahan berpengaruh pada perkembangan film di Indonesia. “Setiap periode pemerintahan melahirkan jenis film yang berbeda,”  jelas Garin.

Pascareformasi, kata Garin, sistem pemilihan langsung muncul dan melahirkan budaya serba publik. Akibatnya, segala sesuatu yang bersifat tidak menarik mengalami kemunduran serta tidak mendapatkan ruang tumbuh dan perhatian publik.

Menurutnya, kondisi perfilman di Indonesia mengalami kemunduran dan kemerosotan perhatian. Garin mencontohkan, presiden hanya menonton film yang banyak diminati masyarakat seperti film Ayat-ayat Cinta. Padahal, lanjut Garin, film-film yang mengandung nilai budaya Indonesia sekarang bermunculan namun tak menjadi perhatian publik.

“Memproduksi sebuah film tak semudah bayangan masyarakat, biaya yang tak sedikit dan respon masyarakat terhadap film yang sedang diproduksi menjadi pertimbangan kami,” tambah Garin .

Senada dengan Garin, aktor senior Ray Sahetapy juga kecewa pada kondisi perfilman di Indonesia. Ray mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menonton film luar dibandingkan film lokal. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena media di Inonesia lebih sering mengiklankan film luar dibandingkan film lokal.

Buktinya, lanjut Ray, banyak seniman yang mencari nafkah dengan menjual kemampuannya di pinggir jalan, seperti seniman-seniman jalanan di Yogjakarta. Bagi Ray, seniman jalanan tersebut mampu mengembangkan bakat mereka lebih dari sekadar menjadi seniman jalanan.

Menanggapi hal itu, anggota Komunitas Kritik Indonesia Dhani Arul mengatakan, masalah utama perfilman Indonesia adalah kurangnya minat masyarakat untuk menonton film dalam negeri.

Dhani menilai, pemerintah perlu membuat promosi film dalam negeri lebih menarik agar mendapat perhatian masyarakat. “Pemerintah juga harus mendirikan komunitas-komunitas untuk menyalurkan bakat para seniman yang kurang perhatian,” saran Dhani, Jumat (4/7).

Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Alex Komang tak sependapat akan kurangnya minat masyarakat terhadap film dalam negeri. “Bioskop di Indonesia tak tersedia di setiap daerah, bagaimana masyarakat dapat mengenal film-film dalam negeri, apalagi di pelosok,” kata Alex, Senin (14/7). Alex juga tak sependapat dengan larangan terhadap film yang bertema kritik pemerintah.

Alex menambahkan, produser dan pemerintah memegang peran penting di dunia perfilman  Indonesia. Selain itu, masyarakat juga sangat berperan dalam mengembangkan perfilman di Indonesia. “Apabila salah satu pihak bermasalah semuanya akan bermasalah juga,” tutup Alex.


IP

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Melek Sejarah Lewat Karya Seni
Next post Refreshink Printmaking, Warna Baru Seni Grafis