Read Time:2 Minute, 43 Second
Judul: Manusia Indonesia
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Isi: 140 Halaman
Terbit: Mei 2001
ISBN: 978-979- 91-0515-8
“Manusia Indonesia karena semua ini, juga penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan perempuan pada pelayan atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor.” (Manusia Indonesia hal.19)
Petikan paragraf dalam buku berjudul Manusia Indonesia merupakan salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol yaitu hipokritis alias munafik. Manusia Indonesia kini semakin pandai menyembunyikan kata hatinya, perasaan, pikiran dan keyakinan yang sesungguhnya.
Sistem feodal dan kolonial di masa lalu berpengaruh besar atas tertanamnya hipokrisi dalam diri manusia Indonesia. Manusia Indonesia bertingkah pura-pura dengan tujuan mencari selamat sendiri, memakai prinsip terhadap atasan dengan sikap asal bapak senang.
Ciri selanjutnya yang menggambarkan manusia Indonesia adalah enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya dan pikirannya. Terbukti dengan kalimat “Bukan saya” dan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan!” yang seringkali diucapkan sebagai bentuk nyata dari sikap tak bertanggung jawab.
Jiwa feodal juga terdapat dalam diri manusia Indonesia. Jiwa feodal ini tumbuh dengan subur di kalangan atas maupun bawah. Kalangan atas mengaharapkan bawahannya agar patuh, hormat, takut dan merendah diri. Begitupun sebaliknya si bawahan yang berjiwa feodal dengan setia mengabdi pada atasan.
“Pernah seorang kawan bercerita, bahwa dia pernah hendak menelepon seorang pembesar, yang diterima oleh seorang ajudan atau sekretaris dan ketika dia mengatakan bahwa dia hendak berbicara dengan sang bapak, maka sang ajudan atau sekretaris, berkata: “Apa bapak sudah ada janji?” Dia heran sekali dan bertanya, kok mau menelepon perlu janji. Soalnya banyak orang merasa bahwa langsung menelepon pembesar itu kurang sopan. Yang sopan menurut jiwa feodal kita ialah pergi menghadap, maka perlu menunggu, dari beberapa hari sampai beberapa minggu.” (Manusia Indonesia hal. 24)
Lalu ciri berikutnya ialah manusia Indonesia masih percaya pada takhayul. Tak jauh beda dengan masa lalu, manusia Indonesia masa kini masih percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, dan pedang mempunyai kekuatan gaib.
Belum lagi manusia Indonesia mempunyai watak yang lemah dan karakter yang kurang kuat. Manusia Indonesia tak konsisten ketika mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Kegoyahan watak ini merupakan dampak dari jiwa feodal. Demi menyenangkan atasan dan menyelamatkan diri, manusia Indonesia memilih untuk bersikap asal bapak senang.
Dari sekian banyak ciri negatif yang telah diungkapkan Mochtar Lubis, satu-satunya ciri positif adalah sifat manusia Indonesia yang artistik. Indonesia memang merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya yang beraneka ragam. Daya artistik manusia Indonesia menghasilkan beragam seni rupa dan kerajinan yang sangat indah. Ciri ini merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi masa depan manusia Indonesia.
Meskipun buku ini berisi pidato Mochtar Lubis yang disampaikan pada tahun 1977, namun isinya masih sangat relevan jika dibaca sekarang. Sebab, sampai saat ini sifat-sifat buruk manusia Indonesia masih dapat ditemukan dan belum berubah dari masa ke masa.
Tata bahasa yang lugas dan gamblang memudahkan pembaca memahami isi dari pidato tersebut. Buku ini mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan yang merupakan refleksi dari manusia Indonesia saat ini. Manusia Indonesia hadir di tengah masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis moral dan karakter. Sebagai cerminan, adanya buku ini dapat membantu membangun kembali manusia Indonesia ke arah yang lebih baik.
JK
Average Rating