Read Time:3 Minute, 56 Second
Jumlah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengalami penyusutan. Usia dan sulitnya persyaratan profesor jadi kendala .
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Agus Salim dengan mengenakan stelan jas hitam dan dasi bermaksud duduk untuk istirahat di kursi dalam ruangan kerjanya. Ia baru saja selesai rapat dengan Senat FST. Tak lama berselang, Agus pun mengambil kertas HVS putih sembari mengeluarkan pulpen dari kantong kemejanya yang berbalut jas. “Angka kredit dosen untuk jadi guru besar itu sebanyak 850 kum. Tak mudah untuk jadi guru besar” begitu tulisnya, pada Rabu (15/3).
Menurut Agus, FST mengalami kekurangan guru besar. Dari delapan program studi FST hanya memiliki satu profesor tetap. Padahal FST tengah menjalin program internasional colabroration dengan pelbagai universitas di Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Jerman dan Australia di bidang riset. Peran guru besar ini sangat penting. Selain sebagai muruah FST, mereka juga diharapkan punya laboratorium khusus riset untuk meningkatkan mutu riset UIN Jakarta. Sayang, saat ini disebabkan kurang guru besar, profesor di FST hanya sebatas mengajar dan mengirim profesor—vissiting pfofessor—ke pelbagai universitas di dalam maupun luar negeri.
Untuk menambah jumlah guru besar di FST, Agus Salim pada 2017 mencetuskan 28 Indikator Kerja Utama FST. Salah satunya poinnya menargetkan kenaikan pangkat para lektor kepala menuju guru besar. Tak hanya itu, ia juga mengirim empat lektor kepala mengikuti program akselerasi guru besar yang diadakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M). Nantinya di 2017 ini mereka diharapkan mampu menjadi guru besar.
Imbas tak adanya guru besar juga dialami oleh Akutansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Dekan FEB, Arief Mufraini menuturkan seharusnya Akutansi meraih akreditasi A. Sayang, disebabkan tak adanya guru besar di Akuntasi membuat Assesor Akreditas Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menyematkan akreditasi B pada jurusan Akutansi.”Sudah 15 tahun berdiri. Tak ada guru besar,” cetusnya, Rabu (15/4).
Tak hanya itu, menurut Arief kurangnya jumlah profesor berimbas terhadap sulitnya membuka program pasca sarjana FEB untuk magister dan doktoral. Berdasarkan Permen Ristek Dikti No. 50 Tahun 2015 tentang Pendirian dan Pembubaran Perguruan Tinggi dan Permen Ristek Dikti No 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi bahwa untuk gelar magister minimal ada doktor. Sedangkan program doktoral harus ada profesor. ”Fakultas FEB akan garing bila tak ada program pasca sarjana untuk gelar magister dan doktoral,” ujarnya.
Saat ditemui diruang kerjanya, Ketua LP2M Arskal Salim khawatir pada 2018 mendatang Universitas Islam Negeri Jakarta akan darurat guru besar. Pasalnya, berdasarkan data dari bagian Organisasi dan Kepegawaian dari 65 guru besar di UIN Jakarta, sekitar 70 persen berusia 60 tahun lebih. “Bisa sampai 20 orang yang pensiun,pada 2018,” ungkapnya, Rabu (15/3).
Selain itu, Arskal juga menyayangkan sikap para guru besar yang terkesan enggan mempublikasikan ilmiah di jurnal internasional terindeks scopus. Dikutip dari www.scopus.com terhitung sampai Desember 2016 silam hanya tiga orang guru besar yang jurnalnya terindeks scopus yaitu Arskal Salim, Azyumardi Azra, dan Oman Fathurrahman. Padahal penelitian internasional merupakan kewajiban para guru besar. “Para guru besar dituntut mempublikasi penelitian internasional,” katanya.
Lebih lanjut Arskal menjelaskan kesulitan para lektor kepala menuju guru besar adalah publikasi karya ilmiah di jurnal internasional terindeks Scopus dan jurnal yang memiliki ranking Scimoga minimal Q3. Rendahnya kemampuan bahasa Inggris yang sesuai gramatika pun menjadi kendala untuk menulis di jurnal internasional. Untuk itu, pada 2017 ini LP2M melakukan akselerasi guru besar. Sebanyak 10 orang lektor kepala terpilih dibimbing oleh profesor dari Australia dan Amerika Serikat.”Terkendala dipublikasi jurnal internasional,” ungkapnya.
Lain halnya dengan Arskal, Ketua Senat UIN Jakarta Atho Mudzhar berpendapat kampus yang berada di Tangerang Selatan ini tak akan sampai mengalami darurat guru besar. Menurut profesor berusia 68 tahun ini, pengadaan kebijakan baru dengan mengadakan akselerasi menjadi salah satu cara efektif untuk menghindari kekurangan guru besar. “Lagi pula sudah ada peraturan perpanjangan batas usia pensiun yang tadi hanya sampai usia 70 tahun, sekarang bisa sampai 79 tahun. Jadi tak sampai darurat,”ungkapnya ketika ditemui di ruang Senat UIN Jakarta, Kamis (23/3)
Menanggapi hal ini Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada mengakui adanya kekurangan guru besar di UIN Jakarta, terlebih di program studi umum. Terdapat beberapa jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, FEB, FST, yang belum memilki guru besar. Menurut Dede peran guru besar bisa meningkatkan akreditasi program studi tersebut. Selain itu, dengan adanya guru besar diharapkan mimpi UIN untuk menjadi universitas riset bisa terwujud.
Lebih lanjut sebanyak delapan orang guru besar ia perpanjang batas usia pensiunnya menjadi 70 tahun. Ia beralasan kebijakan itu sesuai dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang guru dan dosen, pasal 72 terkait batas usia pensiun guru besar. Langkah itu untuk mengantisipasi semakin berkurangnya guru besar.”Saya hanya akan perpanjang, kalau dekannya meminta,” katanya, Rabu (15/3).
Zainuddin Lubis
Average Rating