Read Time:2 Minute, 6 Second
“Mau kuliah di ITB atau kuliah di Jerman?” Pertanyaan yang sangat menohok terucap dari bibir seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. Anak yang menginginkan kuliah di ITB dengan passion Seni Rupa harus dihadapkan dengan pilihan yang sulit.
Jerman merupakan negara maju dan mempunyai sistem pendidikan yang sangat modern. Siapa yang tak menginginkan kuliah di sana. Sebut saja mantan Presiden ke-3 Indonesia juga lulusan negeri yang pernah dikuasai Adolf Hitler itu. Namun bagi Gita Savitri Devi tawaran itu sulit diterima, lantaran dirinya sudah lulus ujian masuk ITB yang sesuai passion. Di sisi lain tawaran sukar ditolak karena sang Ibu yang memberikan.
Tawaran yang diberikan sang Ibu bukan tanpa alasan. Sejak kecil Gita berkeinginan mengenyam studi di luar negeri. Tawaran menjadi dilematis karena Gita sudah lulus masuk ITB. Dengan keyakinan bahwa restu orang tua adalah ridho Allah, akhirnya Gita menerima tawaran ibunya untuk kuliah di Negeri der Panzer dan mengambil Jurusan Kimia.
Ternyata tawaran itu membuat Gita berada dalam kesulitan. Dirinya harus menunggu satu tahun agar bisa kuliah di Jerman lantaran belum cukup umur yakni 17 tahun. Setelah menunggu satu tahun, Gita tak juga tak bisa langsung mendaftar kuliah. Dirinya harus terlebih dulu mengikuti proses pra studi selama satu tahun, juga harus memiliki sertifikat Bahasa Jerman level B2 agar bisa mendaftar kuliah.
Setelah mengikuti itu semua, Gita harus terlebih dulu mengikuti program penyetaraan Studienkolleg yakni mengulang pelajaran-pelajaran SMA selama 4 semester. Jika dalam 4 semester tidak lulus, maka risiko Drop-Out dan deportasi harus diterima.
Tak ingin mengecewakan sang Ibu, Gita berusaha keras agar bisa lulus tes masuk ujian kesetaraan untuk ke jenjang Starta 1. Setiap hari Gita menghafal kosakata bahasa Jerman dari berbagai buku, koran maupun tulisan-tulisan bahkan di dalam perjalanan. Matanya tak lepas dari kertas-kertas kecil yang berisikan kosakata baru.
Selain harus beradptasi dengan iklim Eropa yang dingin, Gita harus beradaptasi juga dengan sistem studi di Jerman yang lebih mandiri. Tidak ada kisi-kisi sebelum ujian, harus hafal semua materi serta mempelajari rumus-rumus. Ujungnya saya tetap gagal dan berakhir dengan tangisan. (Hal. 64)
Sadar waktunya terbatas, Gita mencari cara agar lebih mudah beradaptasi. Meminta teman untuk mengajari materi salah satunya, via telepon atau di kantin usai makan siang hal itu dilakukan. Sampai seringkali Gita mual dan muntah setelah melihat soal-soal latihan.
Perjuangan itu semua terbayar lunas tatakala ia mendapatkan nilai bagus dan diterima kuliah di Universitas Freie Universitat Berlin di Jerman. Proses tak akan menghianati hasil. Begitulah simpulan buku cerita hidup Rentang Kisah karya Vlogger Gita Savitri Devi.
NURUL DWIANA
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating