Judul: Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: 2013
Tebal: 552 halaman
Hidup sebagai tahan politik menjadi target operasi karena bersentuhan dengan PKI. Masuk daftar orang dicari dan menjalani hidup dalam pelarian yang singgah dibeberapa negara.
Peristiwa berdarah itu datang menjadi malapetaka bagai mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Ketika tanah air Indonesia dilanda kisruh pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 yang kembali terulang. Pertumpahan darah terjadi di berbagai belahan Indonesia dan merupakan sejarah kelam bagi tanah air.
Bagian kisah kelam ini turut hadir dalam Kantor Berita Nusantara, ruang bertukar informasi para wartawan di dalamnya. Seorang pewarta bernama Dimas Suryo tergabung di sana. Bersama dengan Hananto Prawiro, Nugroho Dewantoro, Risjaf serta Tjai Sin Soe menjadi kawan sehidup sepelarian.
Segala macam pemikiran serta isme ada di dalam Kantor Berita Nusantara. Ternyata teori hirarki media diaplikasi dalam kantor. Terbukti dari Hananto mempunyai jabatan pemimpin redaksi berhaluan ideologi kiri. Adanya perselisihan di kantor antara kiri dan Amir seorang wartawan kompeten yang dikenal berbagai kalangan kecuali PKI dialihkan ke divisi pemasaran dan iklan. Gesekan ideologi kiri dan kanan membuat Dimas cenderung netral dengan julukan yang disemat ‘zona netral Swiss’. Dimas tak menetapkan pendirian, ia hanya suka mengarungi pesona pemikiran kiri dan kanan seperti berada di tengah perbatasan.
Sebagai kawan dan senior, Hananto sempat mengajak Dimas masuk partai yang tentu saja ditolak. “Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan” untaian kata sindiran dari Hananto membuat Dimas terdiam. Dia tetap pada prinsipnya.
Sampai dimana kecurigaan Dimas muncul saat Hananto memberi perintah untuk hadir dalam International Organization of Journalist (IOJ) di Santiago bersama Nugroho. Seharusnya yang turut serta adalah Hananto sebagai pemimpi redaksi. Hendak menolak perintah, Hananto berdalih tetap berada di Indonesia demi menyelesaikan masalah dengan Istrinya Sutri. Mau tak mau Dimas akan terbang ke Santiago kalau menyangkut Sutri. Ia tahu penyebab masalah perkawinan kawannya dan juga Sutri, bunga yang pernah singgah di hati Dimas.
Kemudian, Nug merencanakan setelah dari Santiago bergabung bersama Risjaf di Havana dan kawan-kawan untuk konferensi wartawan Asia-Afrika di Peking. Firasat Dimas ada yang disembunyikan Hananto berikut kepergiannya dengan Nug. Nyatanya, 12 September 1965 itu hari terakhir ia melihat wajah Hananto.
Di tengah konferensi IOJ, mereka mendengar dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa 30 September. Kantor Berita Nusantara yang senantiasa memberikan mereka kesibukan habis digeledah karena dianggap sangat kiri. Simpatisan PKI maupun keluarga tak lepas diinterogasi sampai rumah Dimas di Solo diobrak-abrik. Kabar mengerikan lain terdengar bahwa Hananto menghilang sekaligus menjadi orang paling diburu. Pastinya Surti beserta tiga anaknya yang masih kecil dimintai keterangan sampai Hananto ditemukan.
Melanjutkan rencana Nug dan Dimas memutuskan menemui Risjaf di Havana, Kuba. Laksana dijatuhkannya bom, paspor Indonesia mereka dicabut. Peking adalah solusi dalam memecahkan masalah ini, agar mereka dapat bantuan dari kawan yang singgah di sana.
Sejak kedatangan Dimas serta kawannya di tanah asing sebagai eksil politik kerja serabutan pun bukan menjadi persoalan. Lantaran kabar dari Indonesia yang menjadi masalah, nasib keluarga di tanah air beberapa kali didatangi dan diintimidasi digeledah, dan diinterogasi, tetapi tak pernah ditahan. Kekhawatiran itu sedikit reda sebab Pakde No, kakak Ibu Dimas ialah seorang kiai yang cukup dihormati di Solo sehingga Ibunya tetap dilindungi.
Tak lama mereka bertiga di penghujung tahun 1966 mulanya berpencar, Dimas memilih Prancis, Nug memilih Swiss dan Risjaf Belanda. Di Paris, Dimas segera bertemu dengan Tjai dan Theresa istri nya yang sudah berdiam di sana sejak hari Natal.
Memulai persembunyiannya di Paris, kota penuh romantisme. Sehingga Dimas menemukan tambatan hatinya pada wanita Paris berambut ikal brunette dengan bola mata hijau kebiru-biruan bernama Vivienne Deveraux. Kini menjalanin keseharian jauh dari tanah kelahiran begitu asing, namun harus dibiasakan. Tak ayal, rindu kampung halaman apabila kembali seperti mendatangi algojo yang siap menjegal kepala.
Sampai berita Hananto yang sudah tiga tahun bersembunyi ditangkap di Jalan Sabang, Jakarta April 1968. Ketika empat kawan itu berkumpul kembali di Paris mendengar bahwa Hananto mata rantai terakhir yang diringkus. Walaupun sejarah meraka kelabu tetap hidup harus dilanjutkan. Mereka, Dimas, Nugroho, Risjaf dan Tjai memutuskan mebuat restoran Indonesia di sudut Paris hingga menjalanin kehidupan berkeluarga. Dimas memiliki seorang putri, yakni Lintang Utara bersama Vivienne. Di mana ketika putrinya mulai tumbuh dewasa memiliki keingintahuan tentang sejarah sang ayah yang disembunyikan dari dunia serta menjadi saksi tragedi 65.
Dalam buku bersampul kuning berjudul Pulang karya Leila S. Chudori bergenre drama keluarga, persahabatan, cinta membawa Leila memenangi penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa, pada tahun 2013. Dari intrik kisah sejarah buku ini, dipadukan dengan latar belakang kekejaman tragedi G 30 S PKI. Dengan dua sudut pandang Dimas dan Putrinya serta alur cerita maju mundur mampu membuat pembaca dibawa menerka keterkaitan setiap babnya.
Nurul Dwiana
Average Rating