September Hitam: Pelanggaran HAM Tak Berujung

September Hitam: Pelanggaran HAM Tak Berujung

Read Time:4 Minute, 4 Second

September Hitam diperingati untuk mengungkit pelanggaran HAM masa lalu yang belum dituntaskan. Hingga kini, pemerintah pun abai terhadap kasus-kasus yang sudah terjadi.

Dalam rangka mengingat kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu yang belum terselesaikan, September Hitam diperingatkan. Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Jakarta bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut mengadakan Diskusi bertemakan “Nawa Dosa Jokowi: Kasus HAM yang Terus Berulang” di Gerak Gerik Cafe & Bookstore, Senin (24/9).

Pemerintah yang acuh dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdampak pada terabaikannya prinsip-prinsip keadilan di masyarakat. Selain itu, sampai sekarang, pemerintah pun tidak menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus yang sudah terjadi.

Perwakilan Komisi untuk Orang Hilang & Korban Kekerasan (KontraS), Ahmad Sajali—kerap disapa Jali—mengungkapkan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kerap terjadi bulan September. Agenda September hitam adalah konsep edukasi dari terjadinya fenomena tersebut.

Pelanggaran HAM bulan September di antaranya pembunuhan Munir Said Thalib pada 7 September 2004, peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, dam peristiwa Semanggi II 24 September 1999. Selanjutnya sekaligus yang paling besar adalah peristiwa G30SPKI 30 September 1965.

Berantakannya sistem politik dan HAM di Indonesia, menurut Jali, memiliki keterkaitan dengan Kerusuhan Mei 1998. Sebab, saat itu Prabowo merupakan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Salah satu tim Kopassus, yakni tim mawar—penculik aktivis 1998—secara sah dan terbukti di pengadilan militer menculik setidaknya sembilan orang. 

“Prabowo tinggal dateng aja ke Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), tinggal itu aja. Dia nggak berani sampai sekarang sehingga kita masih berhak untuk bilang Prabowo sangat mungkin terlibat,” kata Jali, Senin (24/9).

Padahal, lanjut Jali, menurut catatan KontraS, terdapat 32 orang yang hilang saat tragedi itu. Anggota Tim Mawar sudah dinyatakan bersalah dan dihukum walaupun hukumannya sangat rendah dan tidak dipecat. “Yang dipecat hanya satu dan itu langsung diamankan oleh Prabowo untuk masuk ke perusahaan dan Partai Gerindra,” ucapnya.

Menurut Jali, sejak tahun 2014, rakyat hanya diberi dua pilihan yang akan menjadi Presiden, yakni Jokowi dan Prabowo. Jali berpendapat, sistem politiknya luar biasa busuk. Dari semua partai politik di Parlemen, ia tidak melihat perbedaan yang nyata. “Kemarin jelas-jelas momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diperlihatkan bagaimana sistem politik itu bekerja,” tegasnya.

Masyarakat kini telah mengalami depolitisasi—penghilangan (penghapusan) kegiatan politik—sejak orde baru. Jali lanjut menuturkan, mereka menganggap politik hanya aktivitas yang berkaitan dengan Lembaga Legislatif, Yudikatif, atau Eksekutif. Padahal, politik itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, seperti kenaikan harga pangan, transportasi publik, sampai akses pendidikan.

“Mungkin kita di Jakarta merasakan situasi yang baik, tapi masyarakat yg berkonflik langsung itu merasakan situasi yang sebaliknya,” keluh Jali.

Tak hanya Jali, Patria Surya Dwinata sebagai bagian dari Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Jakarta menuturkan, ketika bicara sebagai orang muda, maka pemuda akan bicara tentang idealismenya sendiri. Apakah orang muda akan tetap bersuara tentang kejadian pelanggaran HAM yang terus berulang sampai sekarang? 

“Sebagai orang muda, peristiwa ini bisa menimpa siapa saja bukan hanya yang sudah terjadi. Ketika kita tidak mengingat kejadian di masa lalu, maka itu akan terus terulang. Kita harus melihat brutalitas aparat enggak pernah berhenti dari dulu sampai sekarang,” tutur Patria, Senin (23/9).

Patria mengungkapkan, keadilan untuk para korban belum pernah menemui jalannya. Sebagai orang muda, kita harus tetap menyuarakan peristiwa yang sudah terjadi. Setidaknya, kita terus mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia belum sepenuhnya aman, khususnya untuk orang-orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah.

“Walaupun temen-temen bilang, buat apa kita berisik? Toh, kita nggak pernah didengar. Seharusnya sebagai generasi muda, kita harus tetap berisik dan mengingatkan bahwa kejahatan belum tuntas dan masih ada. Kita ada bukan sebagai pelakunya,” tegasnya.

Sebagai penggiat pers mahasiswa, Inda Bahriyuhani mengungkapkan bahwa

hubungan Jokowi dengan media sangat kompleks. Kejeniusan Jokowi dalam memanfaatkan arus media membuat citra baiknya meningkat. “Dari dia kampanye tahun 2019 itu, dia sudah pakai tim sukses. Sebelum kampanye, dia telah meraba-raba mayoritas penduduk Indonesia itu seperti apa,” jelasnya, Senin (24/9).

Inda lanjut menerangkan, dalam teori komunikasi politik terdapat publisitas politik. Hal itu merupakan konstruksi bagaimana Jokowi membangun citra dirinya di masyarakat umum, terutama mayoritas masyarakat irasional.

“Media itu kan perannya besar banget untuk mengontrol opini publik. Nah, dia bisa mengontrol opini publik dengan masif karena publisitas politik itu, Jokowi menggunakan cara untuk mengalihkan masyarakat fokus pada prestasi-prestasinya,” ucapnya.

Lalu, terdapat glitering generalities, yakni bagaimana dia memoles dirinya sebaik mungkin agar masyarakat mengonsumsi produk media yang berisi pencapaian Jokowi. Selain itu, kata Inda, cara jitu Jokowi yaitu menggaet influencer untuk mengalihkan perhatian masyarakat dengan memberikan testimoni yang baik terhadap program kerjanya. 

“Cara jitu yg selalu dia pakai adalah dengan mengajak influencer ke Ibu Kota Negara (IKN), masyarakat jadi teralihkan gimana Jokowi bisa membangun IKN dengan baik,” ungkap Inda.

Lanjut Inda, jika melihat situasi Pemilihan Presiden (Pilpres) saat itu, mereka memetakan pemilih yang bisa terpengaruh secara psikologis dengan cara diberi hiburan. Masyarakat itu akan terpengaruh dan melupakan kondisi negara sehingga mereka bisa diandalkan untuk menjadi pemilihnya. 

Reporter: Rizka Id’ha Nuraini
Editor: Shaumi Diah Chairani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Tinggalkan AIS, Maba Gunakan E-Semesta Previous post Tinggalkan AIS, Maba Gunakan E-Semesta
Tuntut Krisis Iklim Berujung Pembubaran Represif Next post Tuntut Krisis Iklim Berujung Pembubaran Represif