Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengeluarkan surat pernyataan pada Sabtu (29/8) yang berisi ajakan untuk menghentikan penggunaan istilah “anjay”. Surat yang diunggah pada laman Instagram @komnasanak itu merangkum beberapa pernyataan terkait kekhawatiran mereka terhadap penggunaan istilah “anjay” yang kini sedang populer. Adanya pernyataan tersebut sontak menimbulkan kecaman dan respon negatif dari kalangan masyarakat.
Hingga saat ini, unggahan tersebut telah mendapatkan respon lebih dari 30 ribu komentar. Dari puluhan ribu komentar itu, tak sedikit di antaranya yang bernada sindiran dan kritikan. Sebagaimana yang turut dirasakan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dimas Fakhri, dirinya juga turut menyayangkan sikap Komnas PA yang telah memantik polemik tersebut.
Menurutnya, Komnas PA terlalu berlebihan dalam budaya pergaulan publik. Pernyataan Komnas PA yang menganggap istilah “anjay” sebagai konotasi mencemooh, ditambah lagi ancaman Komnas PA yang menyatakan penggunaan istilah “anjay” bisa dikenai ancaman pidana juga menurutnya cukup berlebihan. Pelarangan istilah “anjay” memiliki dasar argumentasi yang aneh. “Pasalnya, publik lebih mengenal istilah tersebut sebagai ekspresi rasa takjub dan heran,” ujar Dimas ketika diwawancarai Institut via WhatsApp, Kamis (3/9).
Berbeda dengan Dimas, menurut Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Siska mengungkapkan dirinya turut mendukung langkah Komnas PA yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari kebiasaan bertutur kata yang buruk. “Takutnya, anak-anak mencontoh hal yang tidak baik,” ucapnya, Kamis (10/9).
Sebelumnya, Ketua Umum Komnas PA Aris Merdeka Sirait juga telah memberikan klarifikasi ihwal polemik tersebut. Dalam video bertajuk “Pers Rilis”, Aris mencoba meyakinkan sekaligus mengajak publik supaya memandang narasi “anjay” ini dari dua perspektif—rasa takjub dan makian. Ia juga mengatakan, jika narasi “anjay” ini bermaksud menunjukkan rasa takjub, maka menurutnya hal itu bukanlah masalah. “Kata anjay itu bisa digunakan dalam dua perspektif,” ujarnya dalam video unggahan Instagram@komnasanak, Selasa (1/9).
Menanggapi hal itu, Pakar Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta Hindun mengatakan, penggunaan kata “anjay” ini harus dikembalikan kepada hubungan antara bahasa dan komunitas penggunanya. Dalam kacamata pragmatik, suatu diksi yang digunakan selalu bergantung pada konteksnya. Menurutnya, sebagai sebuah umpatan modern, diksi “anjay” ini seharusnya hanya dipakai pada ruang terbatas, misalnya hanya dipakai oleh kalangan anak muda.
Meski begitu, Hindun menganggap bahwa pernyataan yang dikeluarkan Komnas PA itu juga menurutnya berlebihan. Mengingat, masih banyak persoalan lain pada anak-anak Indonesia yang lebih penting untuk dientaskan. Ditambah lagi, bahasa bukanlah kitab suci atau pun undang-undang yang ditetapkan sebagai standar moral, melainkan hanyalah alat penyampai konsep moral tersebut. “Bahasa hanya sebagai alat penyampai konsep moral,” tegasnya Hindun, Kamis (7/9).
Hindun menambahkan, bahasa memang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Kecakapan seseorang dalam bertutur kata juga dinilai menunjukkan pola pikirnya. Oleh karena itu, salah satu cara paling sederhana dalam mendidik anak agar memiliki akhlak yang baik, yakni dengan memberikan contoh pemakaian bahasa yang santun.
Menanggapi potensi perundungan—bullying—yang dihasilkan kata “anjay”, menurutnya hal itu bisa saja terjadi, tetapi hanya dalam kasus berskala kecil. Ditambah lagi, kata “anjay” belum diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Secara leksikal, kata anjay ini belum memiliki arti, ia hanya berfungsi sebagai ungkapan kekecewaan atau kekagetan,” pungkas Hindun, Kamis (7/9).
Maulana Ali Firdaus
Average Rating