
Enam tuntutan menggema di Patung Kuda Jakarta. Negara perlu menindaklanjuti kasus kekerasan dan menjamin hidup aman pada perempuan.
International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional menjadi hari bersejarah untuk perempuan menyuarakan hak-haknya yang acap kali terpinggirkan. Aliansi Perempuan Indonesia (API) berkonsolidasi dengan berbagai elemen masyarakat dalam mengadakan aksi protes atas abainya negara terhadap kasus-kasus yang merugikan perempuan. Pada Sabtu (8/3), tepat pukul 15.30 WIB, ratusan massa aksi berkumpul di Sarinah, lalu berjalan menuju titik utama yaitu Patung Arjuna Wijaya—Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat.
Aksi protes ini bertajuk “Perempuan Dimiskinkan, Dibunuh, Dikriminalkan: Perempuan Menggugat dan Melawan Negara”. Sesuai tajuknya, massa aksi menuntut negara menjamin hak-hak perempuan maupun kelompok rentan lainnya, seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas ataupun kelompok minoritas.
Kekerasan terhadap perempuan juga menjadi pembahasan yang tidak kalah penting dalam aksi tersebut. Di atas mobil komando, orator-orator mengingatkan kepada perempuan korban kekerasan untuk memberanikan diri melapor. Pasalnya, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) periode 2024, sebanyak 27.658 dari 31.947 korban adalah perempuan. Hal ini menunjukkan peningkatan dari periode 2023 lalu yaitu 26.161 korban.
Menanggapi hal tersebut, Afifah selaku wakil koordinator lapangan mengungkapkan, perempuan perlu untuk terus memberdayakan dirinya sendiri. Melihat sejarah hari perempuan yang sangat politis, yakni tentang gugatan perempuan pekerja, Afifah menyatakan bahwa hari perempuan akan selalu berkaitan dengan aksi protes. Menurutnya, tagar #IndonesiaGelap juga menggambarkan kondisi ketidakadilan bagi perempuan.
Ia berharap, aksi ini dapat memantik semangat perempuan untuk terus melawan dan menggugat negara, serta menyadari bahwa seluruh perempuan bergerak bersama. “Kita sadar semua (ketidakberdayaan) ini bukan karena dia perempuan, tapi karena kondisi struktural negara dan sistem yang sangat eksploitatif,” ungkapnya.
Anggota organisasi Perempuan Mahardhika Jakarta, Shafa Haura mengungkapkan, sejauh ini tuntutan yang dilayangkan belum ada ditindaklanjuti oleh pemerintah. Shafa berharap, lembaga pemerintah mulai dari eksekutif, yudikatif maupun legislatif, mendengar apa yang mereka suarakan. “Karena dari janji-janji kampanyenya tidak sesuai per hari ini. Lalu dari legislatif, RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) malah ditunda dan prioritas nasionalnya ganti ke RUU TNI (Tentara Nasional Indonesia),” ucap Shafa, Sabtu (8/3).
Acara usai setelah massa aksi menyatakan enam tuntutan. Pertama, mereka menuntut pemerintahan Prabowo-Gibran untuk segera menjamin hak atas pekerjaan yang layak bagi setiap orang. Caranya dengan menerapkan kebijakan yang melindungi buruh, termasuk buruh perempuan, PRT, perempuan buruh migran, perempuan petani. Lalu pengakuan terhadap perempuan nelayan, perempuan pengemudi ojek online dan transportasi publik lainnya, termasuk perempuan disabilitas, perempuan adat, pendidik dan akademisi perempuan, mahasiswa perempuan, perempuan LGBTQ+, anak perempuan, dan perempuan korban kekerasan, baik itu kekerasan seksual maupun pembunuhan atau femisida.
Kedua, menuntut pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menghentikan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melanggengkan praktik perampasan tanah, perusakan hutan dan lingkungan, serta menyingkirkan perempuan dan masyarakat adat dari ruang hidupnya.
Ketiga, menuntut pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menghentikan efisiensi anggaran pada lembaga-lembaga yang memberi layanan pada perempuan korban kekerasan. Kemudian memperbaiki implementasi UU (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Tindak Pidana Kekerasa Seksual (TPKS), termasuk melakukan penjangkauan kepada panti-panti rehabilitasi mental untuk memberikan perlindungan kepada perempuan disabilitas korban kekerasan panti. Lalu, membubarkan panti rehabilitasi sebagai sumber perampasan kebebasan terhadap perempuan psikososial. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mereformasi aparat keamanan dan pengadilan negeri seluruh Indonesia supaya menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif yang berkeadilan gender.
Keempat, menuntut pemerintahan Prabowo-Gibran menghentikan pemangkasan anggaran pendidikan, serta segera mewujudkan pendidikan gratis dan demokratis. Kelima, menuntut DPR RI segera mengesahkan RUU PPRT, RUU Keadilan Iklim, RUU Masyarakat Adat yang berspektif gender, Revisi UU Perlindungan Pekerta MIgran Indonesia (PPMI) dengan memastikan perlindungan bagi pekerja migran sebagai tanggung jawab negara. Kemudian, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat, khususnya perempuan, serta mencabut semua kebijakan yang pro investasi dan anti demokrasi, seperti UU Ciptaker yang menciptakan kemiskinan berwajah perempuan.
Keenam, mereka mengajak seluruh elemen masyarakat sipil dan organisasi untuk terus ikut aktif menyuarakan gugatan atas situasi nasional yang memprihatinkan. Serta melawan tindakan diskriminatif pemerintah dan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan minoritas, termasuk teman-teman LGBTQ+.
Reporter: RAF, CSA
Editor: Rizka Id’ha Nuraini