Kamis Hitam, Menolak Diam

Kamis Hitam, Menolak Diam

Read Time:3 Minute, 30 Second
Kamis Hitam, Menolak Diam

Ketok palu pengesahan RUU TNI melemahkan supremasi sipil. Menghitung hari ke-856 Aksi Kamisan, massa aksi tetap berdiri di depan Istana Negara sembari menolak RUU TNI.


Hidup korban! Jangan Diam!

Jangan Diam! Lawan!

Lawan! Impunitas!

Lawan! Prabowo!

Seruan itu bergaung memenuhi titik kawasan Aksi Kamisan ke-856 di depan Istana Negara. Sepanjang waktu aksi berjalan, seruan itu tak hentinya terdengar. Bahkan di saat hujan turun pun massa aksi masih berdiri mendengar refleksi dari para orator dengan khidmat.

Aksi Kamisan kala itu terasa berbeda. Gelap dan mencekam. Karena tepat di hari yang sama, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 disahkan.

Kamis (20/3), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani mengetok palu atas kesepakatan seluruh anggota dewan yang hadir dalam pengesahan RUU TNI. Persetujuan itu disahkan setelah sebelumnya pembahasan RUU TNI dikebut DPR dan masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Pengesahan ini kembali memupuk keresahan masyarakat Indonesia setelah sebelumnya rapat RUU TNI dirundingkan secara diam-diam di Hotel Fairmont dari Jumat (14/3) sampai Minggu (16/3). Keresahan masyarakat memuncak di media sosial dengan bukti naiknya tagar #TolakRUUTNI.

Menjelang Rapat Paripurna pengesahan RUU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil memanaskan mesin untuk melakukan aksi massa.  Salah satunya melalui Aksi Kamisan serentak di beberapa daerah seluruh Indonesia.

Sore itu, sekelompok massa aksi berdiri tegak di depan Istana Negara dengan payung hitam terbuka lebar. Seperti biasa, Aksi Kamisan diikuti oleh partisipan menggunakan pakaian serba hitam. Tak lengkap pula rasanya Aksi Kamisan tanpa Bu Sumarsih di sana.

“Selamat sore Bapak Ibu! Perkenalkan kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan. Kami meminta menunda, agar menunda pembahasan Revisi UU TNI. Karena ini dilakukan tertutup, Bapak Ibu!”

Kalimat itu diteriakkan kembali dalam forum Aksi Kamisan oleh seorang aktivis sekaligus advokat Hak Asasi Manusia (HAM) dari organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus. Ia merupakan salah seorang aktivis yang menerobos ruang rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont pada Sabtu (15/3). Sekejap setelah video peristiwa dirinya ‘melabrak’ DPR diunggah, video itu mendapat banyak perhatian warganet.

“Kurang lebih itu yang saya sampaikan ketika Panitia Kerja DPR RI dan Panitia Kerja Pemerintah membahas secara sembunyi-sembunyi dan tertutup di hotel mewah, di Fairmont Jakarta,” lanjutnya.

Andrie menilai, Aksi Kamisan saat itu dilakukan berdasar dari keresahan dan kekhawatiran masyarakat akan bangkitnya dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penolakan dwifungsi ABRI juga bukan tanpa alasan. Berkaca dari sejarah, Andrie menyebutkan peristiwa-peristiwa mudarat hasil dwifungsi ABRI.

“Tragedi 1965, Program NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang mengekang kebebasan kritis kampus, Penembakan misterius (Petrus), Tragedi Talangsari, Tragedi Tanjung Priok, Pembunuhan Marsinah, Pembunuhan terhadap perempuan, Penculikan terhadap aktivis 98, Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, Korban Operasi Daerah Militer di Aceh dan Papua, kita menolak lupa!” sebutnya.

Kiranya, kurang lebih orasi-orasi seperti itu dilayangkan bersama dengan sorak-sorai peserta yang hadir di sana. Orasi-orasi pembakar semangat dan merawat ingatan akan sejarah. Namun begitu, tidak hanya para orator yang punya semangat membara ketika berdiri di Aksi Kamisan, para peserta di sana pun datang dengan semangat yang sama.

Namanya Fatia Maulidiyanti, seorang warga sipil biasa. Dengan pakaian serba hitam menggendong tas ransel berwarna hijau muda, ia datang untuk memenuhi hasratnya dalam menyuarakan keadilan yang kian lama bak mencari jarum dalam jerami. “Yang harus dituntut sekarang adalah justru keberanian warga. Warga juga harus banyak mengorganisir diri dan juga masuk ke dalam barisan gerakan untuk membangun agenda perlawanan itu,” ujarnya, Kamis (20/3).

Fatia beranggapan, masyarakat tidak perlu melegitimasi kehadiran negara lagi, karena sekarang negara justru menjadi musuh bagi seluruh rakyat. Maka dari itu, Fatia sangat ingin jika seterusnya masyarakat bisa sama-sama bersatu dalam melawan negara.

“Justru kalau kita takut, kita membantu negara juga untuk mematikan demokrasi. Tapi lebih berwaspada karena justru kita harus bersiasat di tengah dwifungsi TNI ini,” dengan yakin, Fatia justru bilang dirinya tidak merasa ketakutan setelah disahkannya RUU TNI.

“Kalau misalkan kita tidak kuat, kalau misalkan kita tidak mengorganisir, kalau misalkan kita lengah, pada akhirnya ruang-ruang sipil akan terus dikuasai oleh tentara-tentara. Jadi, lebih penting bersiasat sebenarnya. Kalau takut, jangan,” tukas Fatia.

Reporter: Inda Bahriyuhani
Editor: Rizka Id’ha Nuraini

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Perempuan Bersuara Gugat Negara Previous post Perempuan Bersuara Gugat Negara
Suara Rakyat Diabaikan, RUU TNI Tetap Disahkan Next post Suara Rakyat Diabaikan, RUU TNI Tetap Disahkan