
Aksi unjuk rasa menolak RUU TNI digelar di depan gedung DPR RI. Pengesahan RUU TNI dinilai memperburuk situasi demokrasi di Indonesia.
Mahasiswa dan masyarakat sipil menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (20/3). Terdapat enam tuntutan yang dibawa oleh massa aksi yaitu tolak Revisi UU TNI, tolak dwifungsi militer, tarik militer dari jabatan sipil dan kembalikan TNI ke barak, reformasi institusi TNI, bubarkan komando teritorial, serta usut tuntas korupsi dan bisnis militer.
Berbagai elemen masyarakat turut hadir dalam aksi tersebut. Terdapat Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti korupsi (Lemtaki), Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB), dan Badan Pemantau Kebijakan Pendapatan Pembangunan Daerah (BPKPPD) Kepulauan Riau, serta masyarakat yang melakukan aksi damai. Dalam rangka mendukung RUU TNI, mendesak DPR RI dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TNI demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Dengan adanya RUU TNI ini saya harap TNI dan Polri bersinergi dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara demi menuju Indonesia Emas 2045,” ucap Edy Susilo selaku koordinator lapangan aksi damai, Kamis (20/3).
Kemudian, terdapat massa aksi yang secara tegas mendesak agar UU TNI yang baru saja disahkan segera dicabut. Mereka menilai masih banyak pasal bermasalah yang berpotensi mengancam supremasi sipil. Selain itu, proses pembentukan UU TNI dianggap tidak transparan dan tidak akuntabel.
“Masih banyak pasal yang bermasalah, seperti Pasal 47, Pasal 7, lalu juga Pasal 53. ini justru akan memperkuat impunitas. Banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu diduga terlibat militer di dalamnya. Tapi sampai sekarang, belum ada penyelesaian yang jelas,” ujar Satya Azyumar selaku anggota Amnesty International Indonesia, Kamis (20/3).
Satya menyayangkan betapa RUU yang bermasalah secara substansi maupun proses justru masih ada yang mendukung. Ia mengatakan, penyampaian aspirasi yang mereka lakukan tidak dibayar. “Tapi pada dasarnya semua orang berhak untuk menyampaikan ekspresi. Kita tidak ditunggangi oleh siapapun. Bahkan, oleh antek-antek asing sekalipun yang dituduhkan selama ini. Kita bergerak karena hati nurani dan kita harap masyarakat sipil lain di sana yang membaca juga bisa mengutarakan yang seperti ini,” lanjutnya.
Ketua umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, sebelumnya sudah melakukan penolakan-penolakan revisi RUU TNI, baik dari organisasi buruh atau pun bersama mahasiswa dan kelompok masyarakat lain. Namun, suaranya tidak didengar. “Jadi, DPR memaksakan mengesahkan RUU TNI menjadi UU TNI, versi revisi. Menurut kami, boleh disebut menjadi dwifungsi TNI. Karena TNI yang aktif pun bisa menduduki jabatan di pemerintahan yang notabennya seharusnya memang dipimpin oleh sipil,” ucapnya.
Menurut Sunarno, dalam program pemerintahan Presiden Prabowo, keterlibatan aparat TNI memang sudah terlihat. Mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), militer telah dilibatkan. Bahkan, termasuk dalam urusan yang berkaitan dengan perusahaan. “Di basis kami, Kalimantan Barat, perkebunan sawit sekarang ini sudah dijaga bahkan dikelola oleh tentara, oleh PT Agrinas. Tadinya perusahaan PT Duta Palma yang dianggap merugikan negara, diambil alih oleh kejaksaan, disita, lalu dititipkan ke BUMN, dikelola PT Agrinas dan tentara,” tambahnya.
Tak hanya buruh, kelompok perempuan juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Aliansi Perempuan Indonesia (API), dalam orasinya menyampaikan pernyataan sikap atas kekhawatiran pengesahan RUU TNI, di antaranya; Pertama, DPR RI dan Pemerintah yang telah mengesahkan revisi RUU TNI, dengan proses yang tertutup dan tidak demokratis. Dengan disahkannya revisi RUU TNI, artinya negara secara terang-terangan mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat sipil dan menormalisasi pelanggaran prinsip penyusunan kebijakan.
Kedua, pengesahan revisi RUU TNI memperburuk situasi demokrasi di Indonesia, karena revisi RUU TNI, mengarah pada supremasi militer di ranah sipil. Pengaruh militerisme memperkuat relasi kekuasaan yang otoriter, bias gender, melanggengkan kekerasan, serta mengancam kesetaraan dan hak perempuan. Menguatnya militerisme dalam peran sipil, memperkuat kontrol negara terhadap rakyat melalui cara-cara yang intimidatif, represif, menggunakan kekerasan, dan menyingkirkan perempuan dan kelompok rentan.
Ketiga, API menyerukan dan mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk terus memperkuat konsolidasi dan persatuan untuk menjaga demokrasi.
Kelompok perempuan lainnya seperti Solidaritas Perempuan (SP), ikut menyuarakan penolakannya terkait pengesahan RUU TNI, Kamis (20/3). Amel, perwakilan dari Solidaritas Perempuan mengatakan pemerintah Indonesia saat ini berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menolak adanya RUU TNI. Ia juga menyayangkan rapat RUU TNI diadakan secara tertutup di hotel mewah di tengah efisiensi yang sedang dilakukan.
“Di tengah efisiensi anggaran yang dimana banyak lembaga perlindungan HAM yang dipotong anggarannya, sedangkan mereka mengadakan rapat di hotel mewah,” ucap Amel, Kamis (20/3).
Wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KEMA) Universitas Padjadjaran (Unpad), Rhido Anwari Aripin, turut serta berorasi mewakilkan suara masyarakat dan mahasiswa Jawa barat yang menolak RUU TNI. Ia tidak merasa terwakilkan atas apa yang disetujui oleh DPR RI atas pengesahan RUU TNI.
“Sembilan dari semua panitia kerja yang membahas RUU TNI berada di Dapil Jawa Barat. Kami sebagai mahasiswa dan masyarakat Jawa Barat tidak merasa terwakilkan, masyarakat Jawa Barat mana yang kalian maksud?” tukas Ridho, Kamis (20/3).
Reporter: IH, RAF, ARD
Editor: Muhammad Arifin Ilham